BERMAIN SASTRA DENGAN MAHASISWA
oleh: AKHMAD NURHADI MOEKRI
Hidup adalah permainan. Kita bermain dengan siapa saja dan apa saja, bahkan tidak jarang kita bermain dengan diri kita sendiri. Barangkali pikiran saya terisi dengan Panggung Sandirwaranya Ahmad Albar, yang akhir-akhir ini lagu tersebut sering kita dengar. Entah siapa pula penyanyinya:
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabharata atau tragedi dari Junani
Setiap kita dapat satu peranan
yang harus kita mainkan
...
Orang bermain sandirwara, orang bermain politik, bermain gila, bermain musik, bermain sastra. Bermain sastra, sebuah frase yang kedengarannya aneh, tapi sesuatu yang aneh biasanya mempunyai masa sendiri untuk selanjutnya menjadi tidak aneh. Akhir abad XIX penduduk pribumi begitu takjub memandang noni-noni Belanda dengan rambut berkepang dua mengendarai kereta angin alias sepeda pancal. Kok tidak jatuh,ya? Sebuah pertanyaan sederhana tapi sesungguhnya memerlukan kedalaman Mekanika untuk menjelaskannya. Seharusnya pertnyaan cerdas semacam ini perlu dikagumi, tetapi pada buku Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer. Perasaan takjub melihat keanehan noni-noni Belanda bersepleda, bukan karena kedalaman ilmu pengetahuan pribumi, tetapi semata-mata karena pribumi tidak mendapatkan akses bersentuhan dengan sepeda pancal, apalagi memilikinya. Suatu kemiskinan jasmani dan rohani yang benar-benar parah. Di masa penjajahan hal ini merupakan sesuatu yang lumrah.
Pengarang juga suka dengan keanehan-keanehan. Iwan Simatupang dengan novel-novelnya yang aneh. Ziarah, Merahnya Merah, Kooong pada mulanya merupakan novel-novel yang aneh. Demikian juga O, Amuk, dan Kapak pada mulanya terasa aneh. Mantera yang dihidupkan kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri lewat puisi-puisinya. Sebuah gejala atavisme. Putu Wijaya dengan Anu, Aduh, dan Wah. Drama yang kreatif. Barangkali memang dalam sastra keanehan dapat didefiniskan sebagai kreativitas. Kemudian ketika muncul keanehan-keanehan baru , maka yang lama menjadi tidak aneh, bahkan menjadi klasik.
Anggapan karya sastra sebagai permainan kata-kata memang tidaklah sepenuhnya benar, tetapi tanpa bermain dengan kata-kata pengarang tidak dapat berbuat apa-apa. Bandingkan sastrawan dengan pelukis yang bermain dengan warna dan garis, pemahat bermain dengan bentuk, penari bermain dengan gerak, dan jangan lupa penyanyi bermain dengan nada dan irama.
Sekarang saya mengajak mahasiswa saya bermain sastra, khususnya genre puisi, sebagaii pelengkap kegiatan perkuliahan Apresiasi Puisi dan Prosa Fiksi. Tentu saja Antologi ini dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur, sekali lagi salah satu, bukan satu-satunya.
Kepada seluruh mahasiswa tercinta saya berharap pada saatnya nanti menulis puisi bukan beban, tatapi merupakan kebutuhan. Itu artinya Saudara-saudara mahasiswa sudah menjadi penyair. Semoga!
Sumenep, 2 Nopember 2010
-
0 komentar:
Posting Komentar