click to generate your own text

Rabu, 08 Juni 2011

Bermain Sastra Dengan Mahasiswa

BERMAIN SASTRA DENGAN MAHASISWA
oleh: AKHMAD NURHADI MOEKRI

                Hidup adalah permainan. Kita bermain dengan siapa saja dan apa saja, bahkan tidak jarang kita bermain dengan diri kita sendiri.  Barangkali pikiran saya terisi dengan Panggung Sandirwaranya Ahmad Albar, yang akhir-akhir ini lagu tersebut sering kita dengar. Entah siapa pula penyanyinya:
                Dunia ini panggung sandiwara
                Ceritanya  mudah berubah
                Kisah Mahabharata atau tragedi  dari Junani
                Setiap kita dapat  satu peranan
                yang harus kita mainkan
                ...

                Orang bermain sandirwara, orang bermain politik, bermain gila, bermain musik, bermain sastra. Bermain sastra, sebuah frase yang kedengarannya aneh, tapi sesuatu yang aneh biasanya mempunyai masa sendiri untuk selanjutnya menjadi tidak aneh. Akhir abad XIX penduduk pribumi  begitu takjub memandang noni-noni Belanda dengan rambut berkepang dua mengendarai kereta angin alias sepeda pancal. Kok tidak jatuh,ya? Sebuah pertanyaan sederhana tapi sesungguhnya memerlukan kedalaman Mekanika untuk menjelaskannya.  Seharusnya pertnyaan cerdas semacam ini perlu dikagumi, tetapi pada buku Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer. Perasaan takjub melihat keanehan noni-noni Belanda bersepleda, bukan karena kedalaman ilmu pengetahuan pribumi, tetapi semata-mata karena pribumi tidak mendapatkan akses bersentuhan dengan sepeda pancal, apalagi memilikinya. Suatu kemiskinan jasmani dan rohani yang benar-benar parah. Di masa penjajahan hal ini merupakan sesuatu yang lumrah.
                Pengarang juga suka dengan keanehan-keanehan. Iwan Simatupang dengan novel-novelnya yang aneh. Ziarah, Merahnya Merah,  Kooong pada mulanya merupakan novel-novel yang aneh.   Demikian juga O, Amuk, dan Kapak pada mulanya terasa aneh. Mantera yang dihidupkan kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri lewat puisi-puisinya. Sebuah gejala atavisme. Putu Wijaya dengan Anu, Aduh, dan Wah. Drama yang kreatif. Barangkali memang dalam sastra keanehan  dapat didefiniskan sebagai kreativitas.  Kemudian ketika muncul keanehan-keanehan baru ,  maka yang lama menjadi tidak aneh, bahkan menjadi klasik.
                Anggapan karya  sastra sebagai permainan kata-kata memang tidaklah sepenuhnya benar, tetapi tanpa  bermain dengan kata-kata pengarang tidak dapat berbuat apa-apa. Bandingkan sastrawan dengan pelukis yang bermain dengan warna dan garis, pemahat bermain dengan bentuk, penari bermain dengan gerak, dan jangan lupa penyanyi bermain dengan nada dan irama.
                   Sekarang saya mengajak mahasiswa saya bermain sastra, khususnya genre puisi, sebagaii pelengkap  kegiatan perkuliahan Apresiasi Puisi dan Prosa Fiksi. Tentu saja Antologi ini   dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur, sekali lagi salah satu, bukan satu-satunya.
                Kepada seluruh mahasiswa tercinta saya berharap pada saatnya nanti menulis puisi bukan beban, tatapi merupakan kebutuhan. Itu artinya Saudara-saudara mahasiswa  sudah menjadi penyair. Semoga!
                                                                                                                                            
 Sumenep, 2 Nopember 2010
               
-

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More