Di Gapura Kita Bertemu
Oleh: Drs. H. Akhmad Nurhadi, S.Pd., M.Si.
Fungsi puisi di antaranya merupakan media komunikasi di samping media ekspresi. . Berkomunikasi melalui puisi tentu saja bukan sekedar greeting, tetapi komunikasi intensif sekaligus artistik. Segenap daya –imaji, lambang, tanda, - dapat ditangkap pembaca sebagai pesan (messege). Dari sinilah kemudian berkembang apa yang Horace sebut sebagai dulce and utile. Puisi itu indah dan berguna.
Ketika kita berhadapan dengan puisi (baca: Antologi Puisi –antologi, bukan ontologi-), maka puisi menyapa kita atau kita menyapa puisi. Pembacaan semacam itulah yang dimaksud dengan proses komunikasi. Proses komunikasi adakalanya berhasil dan ada kalanya gagal. Proses komunikasi gagal manakala kita dan puisi terpisah jurang perbedaan yang tajam. Perbedaan itu bisa berujud perbedaan visi, konsepsi, latar budaya, bahasa, dan sebagainya atau eksistensi puisi itu sendiri. Puisi yang dibentuk melalui akrobat kata-kata, atau spekulasi bahasa jelas tidak akan bermakna. (Boro-boro pembaca disuruh mengerti atau memahami, penyairnya −itupun kalau boleh disebut penyair− sendiri tidak akan mempunyai gambaran apa-apa terhadap puisinya. Puisinya tidak berbicara apa-apa.
Puisi-puisi dalam antologi “Sepasang Hati Gapura” cukup berhasil memberikan jalinan komunikasi. Laut –dalam maknanya yang metaforis atau simbolis− mendomisasi puisi-puisi yang termuat di dalamnya. Antologi ini berisi puisi-puisi Khairul Umam dan Nur Khalis mesing-masing menyertakan 15 judul karya puisinya. Jadi berisi 30 puisi.
Sedemikian intensnya laut dalam antologi ini membuat “The Old Man and The Sea” karya maestro sastra klasik Ernest Hemingway mereferensi dalam upaya mengapresiasi karya penyair darii desa Gapura Sumenep tersebut. Judul-judul puisi berikut mengindikasikan kenyataan ini: Laut dan Laki-laki, Sebentar Saja Kita Bersama Pelaut Tua Milik Kita, Yang Berteman Gelombang, Sepanjang Jalan ini, Anak Kecil di Tepi Laut, Pada Pagi yang Resah, dan sebagainya.
Kita disuguhi tragik kehidupan. Puisi “Kandara” mewakili sisi kehidupan ini, di samping baris-baris:
Dia terheran melihat wajah anak itu
Persis sama seperti payung yang dibawanya
_hitam legam
Lalu matanya yang sayu meraba awan bergumpal
Kelam
(Seorang Anak Kecil dan Sebuah Payung)
Namun
_ yang merajam takdirku di sungai kala itu
Dengan sebuah pancing yang kita pegang ujungnya
Adalah kisah hujan pada kemarau
(Bermain dengan Masa Lalu)
Di sanalah dia akan membunuh
Ayahnya seniri
(Seorang Anak Kecil dan Sebilah Belati)
juga laki-laki yang sendiri terbakar mimpi
lantas hangus dan mati
(Laut dan Laki-laki)
Kita juga disadarkan bahwa harapan selalu masih ada..
Kenapa tak kita ikuti saja kekhusukan mereka
Sebagai kekhusukan para nabi?
Mungkin di sana kita akan mengert
(Untuk yang Terluka)
Khumairah, tak ada lagi titik embun yang kau puja disini
Namun bukan berarti kita tak bisa
Menciptakannya lagi
(Sajak untuk Sebuah Negeri)
:tapi salam ini tak akan pernah berhenti!
__assalamu’alaikum...
(Declaration Letter)
Tentu saja tak ketinggalan suguhan sensualitas cinta. Perlu dimaklumi ke dua penyair tersebut masih Belia. Puisi ”Other Side of Bride and Brigedroom Night” cukup berhasil menyajikan sensualitas cinta tanpa terjebak kecengengan atau eksplorasi berlebihan terhadap seksualita.
sebab cumbuku semakin keras dan kekal dalam persetubuhan
aku jadi lupa gemuruh birahi doa yang memekakkan sepi dan hayatku
membutakan dzikir dan tahajjudku
sungguh, aku mendulang keliru.
(Other Side of Bride and Brigedroom Night)
Aidah, jika semua sudah selesai. bisakah kau menemuiku
Di ceruk yang dalam. jauh dari keramaian?
Di sini!
(Sebaris Sapa untuk Aida)
:Di luar problem sensualita, kita dapat menjadikan Santiago, protogonis dalam novel Ernest Hemingway sebagai referensi. Tentunya kita boleh menjadikan siapa saja sebagai referensi baik bersumber dari tokoh fiksi, maupun tokoh fakta. Kita gunakan asumsi ini bukan semata-mata karena kita mengikuti paham Mimesis ala Plato atau Aristoteles.
Lelaki tua Santiago telah mengalami tragik kehidupan, harapan, atau barangkali sensualitas cinta yang sudah lama ditinggalkannya. Santiago telah mengalami semuanya. Pada saatnya kitapun dapat mengalami segalanya.
Kita –Santiago, Khairul Umam, Nur Khalis SB, dan saya− telah bertemu di Gapura. Sebenarnya kita bisa bertemu di Pendopo, di Candi, di Pesantren, atau di mana saja. Bahkan kapan saja. Karena karya sastra selalu mampu meretas ruang dan waktu.
Kita telah bertemu. Kita akan selalu bertemu!
`
Sumenep, 25 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar