click to generate your own text

Rabu, 08 Juni 2011

Ketakjuban Astronomis (Dan Astrologis?) Dalam Puisi

MALAM (KYAI) M. FAIZI :
KETAKJUBAN   ASTRONOMIS  ( DAN ASTROLOGIS? ) DALAM PUISI
Oleh: Akhmad Nurhadi Moekri, mantan ketua Lesbumi NU Sumenep.

                                                      Kritikus tidak menulis puisi
                                                      bersama kata-kata, ia bersayap , terbang di dahi penyair
                                                      tapi,  langit mereka begitu sempit
                                                      ketika puisi jadi kehidupan sehari-hari
                                                                                                                                                       
                                                      (Kata dan Peristiwa)

                Saya senang  membaca Permaisuri Malamku, Rumah   Bersama, Sareyang, atau bahkan Tiga Belas Plus, walaupun judul yang saya tulis berakhir itu sebetulnya belum pernah saya baca. Saya memang senang membaca (Kyai) M. Faizi. Alasannya tentu saja banyak, tetapi alasan yang paling urgen adalah karena ketika saya membaca (Kyai) M. Faizi yang terbaca adalah (Kyai) M. Faizi, bukan D. Zawawi Imron, bukan pula Subagio Sastrowardoyo, Piek Ardijanto Soepriadi, atau Martin Jankowski, apalagi Akhmad Nurhadi Moekri. Hehe.....! Makan kaldu terasa kaldu. Bukan makan rujak terasa hotspot, eh! hotdog!
                ‘Malam’ sebagai potensi maupun esensi, denotasi, konotasi, bahkan arti simbolik −dalam jagat puisi−sering digali Penyair.  Tidak kurang dari Subagio Sastrowardojo telah melahirkan: Leiden 4/10/78 (Malam) dan  Malam Penganten; Piek  Ardijanto Soeprijadi telah menghadirkan: Pelabuhan Malam, Lelaki  Malam, Dingin Malam; atau Martin Jankowski:  Vollmondnacht an der Kuste van Bali  (Malam Purnama di Pantai Bali), belum lagi dalam jagat drama dan prosa.
                Namun demikian,  ‘malam’  sebagai tema sentral hadir –sejauh penelitian Penulis− hanya dalam antologi Permaisura Malamku oleh (Kyai) M. Faizi. Pak Kyai muda yang penyair. dan tentu saja bersarung dan berkopiah hitam  tinggi. Sosok yang terlalu sederhana untuk pribadi cerdas dan unik. Sama sederhananya dengan puisi-puisinya yang arif dengan kedalaman intelektual mamadai.
                Kesederhanaan yang kaya. Betapa kita disuguhi kata, frasa (idiom), klausa, atau kalimat  dengan standar baku.  Kita perhatikah kutipan larik-larik berikut: “//Kilatan cahaya yang berpendar/ hidup dan berdenyar/...” (Surat Cinta untuk Malam); “//kelip mata malammu/jumpalitan jatuh ke cahaya mukaku//” (Permaisuri Malamku); “//Bemersik pikiran/melayang-layang/menimbuni kesadaranku,.../” (Berjalan di Malam Hari); “/Namaku malam/kepingan waktu yang membentuk subuh/...” (Namaku Malam); dan banyak lagi. Baris-baris tersebut menampilkan pola kalimat: S-P (Subyek-Predikat), kalimat sederhana dengan diksi sederhana pula. Tentu saja kesederhanaan yang kaya makna.  Makna perjalanan spiritualitas dan kepenyairan versi (Kyai) M. Faizi.
                Perjalanan sampai (atau dimulai dari) pada pengamatan pemandangan langit malam dengan segala fenomena:  Galaksi, massa, kecepatan cahaya, gelap, langit, sunyi, dengan segala macam fenomenanya (inherent: alam, manusia, Tuhan).
                Betapa mempesonanya ‘malam’ sampai-sampai Penyair mengirimkan Surat Cinta untuk Malam yang dibuka dengan bait:”//Kilatan  cahaya yang berpendar/redup dan berdenyar/seperti jantungku mengatup dan mekar/perkenalkan, aku bernama malam//...” (Surat Cinta untuk Malam).   I don’t know why Kadek menterjemahkannya menjadi Love Poem to Nigt. Dalam bahasa Indonesia terdapat  perbedaan yang signifikan antara peom ‘puisi’ dengan letter ‘surat’.  Yang jelas keterpesonaan kepada ‘malam’ tetap mengental sepanjang puisi dalam antologi ini.
                Pesona malam juga mengusik kesadaran Penyair –dan tentu saja menyadarkan kita− akan keterbatasan diri (dan manusia pada umumnya) terasa  pada: “ .../aku menakar batas akhir kemampuanku/menjangkau sumber cahaya//” (Permaisuri Malamku); Juga : “/...aku sampai tak mampu /mencapai titik pertemuan  cipta/saat gelap berjumpa cahaya//”  atau: “//Supernova, Supernova/aku memanggil menggigil/karena itu yang sedikit kutahu/yang cemerlang jelang tiada//” (Bagaikan Supernova). Kemampuan pengamatan (alamiah) manusia terbatas.  Demikian juga pemikiran (ilmiah), maupun perenungan (spiritualitas dan seni).
                Walhasil  pesona ‘malam’  membangunkan kearifan diri, kejelian dalam melihat isi (baca: esensi, substansi, hakikat, dsb.). Penyair sampai pada: “/...ia yang cemerlang/menang tanpa pertandingan/” (Tong-Batong); atau: “/...di masa kini/yang terang oleh ilmu dan iman/tetapi digelapkan oleh takabur dan tipu daya//” (Sejenak ke Dulukala); Sikap arif   dalam menyikapi benturan tradisi hisab dan rukyat  dalam penentuan awal bulan Romadhon: “/Menjelang bulan ramadhan/menghitung dan melihat/bersading di atas peterana/untuk sama-sama sepakat/setia, mencintai dan taat/dalam keadaan serba terbatas/” (Menunggu Hilal); Pada akhirnya sampai pada: “//Fana, fana, fana/sebab yang baka/hanyalah untuk Yang Esa//” (Rukyatul Hilal).
                Antologi Permaisuri Malam memang buku kumpulan puisi, bukan astronomi apalagi astrologi. Oleh karenanya ia juga memuat sikap kepenyairan yang dianut Penyari tentang hakikat puisi: “.../penyair membalik penaka jadi nirsama/untuk puisi//...” (Ting).   Penyair sebagai  kreator semu daoat saja menciptakan dunia (puisi)nya sendiri, bahkan menciptakan peristiwa: “.../sebab itulah Dimyar menulis puisi/karena sebetulnya ia menciptakan peristiwa/yang hilang saat tidak dibaca/” (Kata dan Peristiwa), atau puisi adalah fakta itu sendiri: “/...di layar komputer/bintang-bintang berdenyar menjadi puisi/” (Menunggui Malam), hingga Penyair (ikut) memutuskan: Ancestor of Science adalah puisi: “//experience and imagination/poem and it’s metaphor/represent our ancestors/ancestor of science/” (Ancestor of Science ‘Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan’). Sikap kepenyairan ini juga diperlukan dalam rangka lebih memahami puisi-puisi (Kyai) M. Faizi.
                Sesederhana apapun puisi (Kyai) M. Faizi, tapi ia telah mampu memperkaya khazanah wawasan puitik –juga estetik− saya (dan kita), termauk di dalamnya kekayaan fakta, konsep, atau prosedur dalam kosa kata: mengupak, penaka, nirsama, berdenyar,  abid, ampai, malim, nalam, layas, dst. Untungnya Penyair cukup berbaik hati dengan mencantumkan Sari Kata dalam bukunya.
                Demikian juga upaya menghadirkan beberapa puisinya dalam bahasa Inggris merupakan jawaban terhadap kebutuhan globalisasi yang   kita hadapi saat ini. Syukur kalau antologi ini dapat terbit di luar negeri.
                Langit malam memang fenomenal (sama fenomenalnya dengan langit siang). Kisah Ibrahim AS mencari Tuhan lewat kajian terhadap bintang-bintang, bulan, bahkan matahari. Kisah Muhammad SAW diisrokmikrojkan pada malam hari untuk menerima kewajiban sholat. Serta kisah-kisah lain dapat menjadi sumber ilham yang tidak akan pernah kering untuk digali.
                Luar biasa! Penyair –dan kita semua− hidup  di bumi, planet mungil yang terselip di antara milyaran galaksi. Kesadaran ini digetarkan kembali oleh puisi-puisi (Kyai) M. Faizi.  Subhanallah wallahu akbar!
                                                                                                                                                                Sumenep, 13 Mei 2011


Disampaikan pada acara Bedah Buku Permaisuri Malamku oleh M.Faizi bertempat di Aula Asy-Syargawi Annuqayah Sumenep, pada 18 Mei 2011.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More