click to generate your own text

Rabu, 08 Juni 2011

Puisi : Sebuah Edutaintment

PUISI: SEBUAH EDUTAINTMENT
Oleh: AKHMAD NURHADI MOEKRI, Ketua Lesbumi NU Sumenep

puisi: zat hidup
yang mencintai pagi
        (Tengsoe Tjahjono)

Dalam suatu diskusi seorang peserta dengan sinis –semoga sinis dramatik_ mengatakan, bahwa ketika     membaca  puisi   ia tidak mendapatkan apa-apa, sama artinya dengan tidak membaca. Ia mati rasa terhadap puisi. Jelas ia bukan penyair atau calon penyair.
Sama halnya dengan yang bukan petinju tidak akan kehilangan apa-apa dengan tidak bertinju. Yang bukan perokok tidak akan kehilangan apa-apa dengan tidak merokok. Yang bukan pelukis tidak akan kehilangan apa-apa dengan tidak melukis. Petinju tidak sama dengan perokok atau pelukis, tapi paling tidak identik. Demikian juga penyair, kata Khairil Anwar: Yang bukan penyair tidak ikut ambil bagian atau yang bukan penyair hanya bisa memimpikannya, kata Nirwan Ahmad Arsuka, ketika member catatan pada Telepon Genggamnya Jokpin (Pinurbo, 2003:77)
Penyair menghadirkan karya puisi bukan tanpa maksud.  “Saya  berpuisi untuk mengespresikan diri dan berkomunikasi.” kata Sang Clutit Emas, D. Zawawi Inron (imron, 1986:V). “Puisi adalah wahana Subagio untuk menghadirkan dirinya, juga pandangannya.  papar Bakdi Sumanto.  Bahkan Subagio sendiri menegaskan,  bahwa puisi adalah filsafat dalam penjelasan seni.” (Sastrowardoyo, 1995:140).
Demikian juga ketika Dodong Djiwapradja menghadirkan kumpulan sajak Kastilia  sempat memberikan catatan (Djiwapradja, 1999:ix), “Sajak-sajak yang tercantum di dalamnya tak ubahnya seperti potret saya sendiri, terpampang dalam berbagai pose, tampang dan gaya yang berbeda-beda, seiring dengan meningkatnya jenjang usia dengan berlatarkan suasana zaman yang berlain-lainan pula. Namun yang tampak dikenali adalah di situ tetap diri saya pribadi, bukan orang lain.”
  Ketika Eka Budianta memberikan pengantar pada Antologi Puisi Indonesia 1997, ia sempat menuliskan (Sukirnanto, 1999:ix): “menulis puisi sebagai proses mengembangkan kepribadian. Dari puisi-puisi itu tercermin kepribadian, intelektualitas, dan “mutu” sumber daya manusia kita.” 
Terakhir, kredo jenius kepenyairan  Tengsoe Tjahjono dalam Salam Tabik: Menulis Puisi dengan Puisi, antara lain dikatakannya (Tjahjono, 2003:vi): “… puisi tidak saya hadirkan sekadar sebagai media, ia justru ilham itu sendiri. Ia penggerak. Ia yang membimbing tangan penyair untuk menekan keyboard computer membangun dunia asing, ruang puitik.”  
Perhatikan pula bait  puisi D. Zawawi Inron (Imron, 1986:7)
            dengan puisi
            kusuburkan seribu semak
            tempat bunga-bunga tersenyum
            setelah hatiku jadi bom
            dan berdentum
                                    (Sajak Burung Gagak )
Atau pada puisi Hartojo Andangdjaja (Andangdjaja, 2002:61) berikut:
             karena sajak melambaikan harapan-harapan baru
            karena sajak adalah kaki langit yang memanggil selalu.
            karena sajak adalah dunia di mana kasih kita bertemu
            karena sajak adalah kita punya rendez-vous
                                                (Rendez-vous)
Demikian pula sajak Subagio Sastrowardojo  (Sastrowardoyo, 1995:6)
            ah, sajak ini,
            mengingatkan aku pada langit dan mega.
            sajak ini mengingatkan kisah dan keabadian,
            sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali,
            sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
                                                (Sajak  )
atau pada karya Dodong Djiwaprodjo (Djiwaprodjo, 1999:89)  berikut ini:
            Puisi adalah manisan
            yang terbuat dari butir-butir kepahitan
            puisi adalah gedung yang megah
            yang terbuat dari butir hati yang gelisah
                                                (Puisi)
juga pada puisi penyair M. Poppy Donggo Huta Galung berikut (Galung, 1999:8):
            yang telah memberiku senang
            yang telah memberiku sedih
            yang telah memberiku cinta
            berjalin dan mengikatku kini
dalam rumah tangga
                        (Sajak)
Puisi tidak diciptakan penyair dengan sia-sia. Dengan puisinya penyair menggantungkan keinginan, tujuan, target, harapan, cita-cita, ambisi, atau paling tidak kalau kita gemar bermain logika: keinginannya tanpa keinginan, tujuannya tanpa tujuan, targetnya tanpa target, harapannya tanpa harapan, cita-citanya tanpa cita-cita, ambisinya tanpa ambisi.
Dengan demikian dapat dirumuskan sederetan fungsi puisi: alat ekspresi diri, alat komunikasi, wahana menghadirkan diri lengkap dengan pandangan-pandangannya, sebagai  filsafat dalam penjelasan seni. sebagai potret diri dengan posenya,  menyuburkan semak (jiwa), memberikan harapan baru yang lebih indah, menghibur diri, penyalur kegelisahan, penghindar keputusasaan,   ilham, penggerak dan seterusnya.
  Konsep tentang fungsi puisi atau fungsi sastra pada umumnya telah banyak diungkap orang. Tidak kurang dari Edgar Allan Poe (dalam Welleck, 1995:25-26) melontarkan istilah didactic heresy, sastra (baca: puisi) bukan saja berfungsi menghibur, tetapi juga mengajarkan sesuatu, kemudian Horace (dalam Welleck, 1995:25-26)   mengusung konsep dulce dan utile. Horace mengatakan bahwa puisi itu indah dan berguna. Lebih lanjut Horace menjelaskan bahwa fungsi seni (baca: puisi) harus dikaitkan pada dulce (indah) dan utile (berguna). Terakhir pendapat Eastman perlu kita jadikan pertimbangan. Eastman (dalam Welleck, 1995:30) memberikan penekanan bahwa ”tugas utama penyair adalah  membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan kita, dan membayangkan apa yang  secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah kita ketahui.”
Soal kemudian pembaca masih tidak menemukan apa-apa. Tidak apa-apa.   Jangan dipaksa untuk menemukan apa-apa. 
DAFTAR PUSTAKA
Andangdjaja, Hartojo, 2002. Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Djiwapradja, Dodong, 1999, Kastalia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Galung, M. Poppy Donggo Huta, dan A.D. Donggo, 1999. Perjalanan Berdua. Jakarta: Grasindo.
Imron, D. Zawawi, 1986. Clurit Emas. Surabaya:  Bintang.
Pinurbo, Joko, 2003. Telepon Genggam. Jakarta: Buku Kompas.
Sastrowardoyo, Subagio, 1996. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Gramedia.
Sukirnato. Slamet (ed.), 1997. Antologi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa.
Tjahjono, Tengsoe. 2003. Pertanyaan Daun. Malang: Komunitas Kata Kerja.
Welleck, Rene dan Austin Warren, 1995. Teori Kususastraan. Jakarta: Gramedia
                                                                                                                                                 
Sumenep, 20 Mei  2008

Pukul: 21.42

TENTANG PENULIS
AKHMAD NURHADI MOEKRI adalah  Sekretaris APSI (Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia)  Kabupaten Sumenep (masa bakti 2005-2010),  Ketua Pengurus Cabang Lesbumi NU Kabupaten Sumenep  (masa bakti 2004-2009), Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP PGRI Sumenep ( sejak 2007) , dan Pengurus PGRI Kabupaten Sumenep (periode 2005-2010), senang menulis puisi.
Email : nurhadi_diknas@yahoo.com    
                                                                                                                    

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More